Sejatinya, tak hanya kerusakan lingkungan saja
yang ditimbulkan akibat aktifitas maupun ketidakselarasan pembukaan lahan
oleh aktifitas industri di beberapa kawasan yang punya nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.
Pada kegiatan “Community Feedback” oleh PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) Rabu
(10/9) di Hotel Sejati, Balikpapan banyak nelayan sekitar Teluk Balikpapan
mengeluhkan dakmpak sosial dan ekonomi yang terjadi kepada mereka.
Diketahui, Teluk Balikpapan
merupakan sebuah teluk kecil yang terletak di Timur Kalimantan Indonesia yang
menyimpan keanekaragaman hayati yang
merupakan ekosistem bagi
hewan
serta tumbuhan khas yang mulai
langka seperti Pesut, Dugong ataupun Bekantan.
Selain beberapa flora endemic Kalimantan tersebut, di Teluk yang berdampingan dengan Kawasan Industri
Kariangau (KIK) itu, juga banyak terdapat populasi hutan Mangrove.
Namun
kini, sebagian habitat mereka
mulai terusik oleh aktifitas perusahaan – perusahaan yang terdapat di daerah
teluk itu sendiri. Salah satunya, tergambar dalam
diskusi tadi, yaitu ada pada perusahaan yang
bergerak di bidang Crude Palm Oil (CPO) atau industri minyak nabati ini.
Dari
pertemuan antara WINA dengan pihak terkait guna mengetahui tanggapan masyarakat terkait aktifitas mereka
di kawasan Teluk Balikpapan kemarin, perusahaan ini diduga merupakan salah satu
penyumbang kerusakan bagi habitat-habitat yang ada di Teluk Balikpapan
belakangan waktu. Hasilnya, banyak peserta yang
mengeluhkan kondisi Teluk Balikpapan saat ini.
Contohnya, seperti kerusakan
kawasan mangrove yang berujung dari penutupan aliran air sungai Berenga yang
diduga oleh perusahaan ini yang sempat menjadi pembahasan hangat belakangan
waktu.
Hal itu bukan hanya
merugikan bagi lingkungan, tapi juga kerugian bagi para nelayan-nelayan sekitar,
sebab perusahaan ini membuat lahan-lahan
para pencari nafkah ini berkurang. Dikarenakan, peraturan-peraturan perusahaan
yang melarang nelayan memasuki area perairan perusahaan yang merupakan lahan
para nelayan mencari ikan sebelumnya.
Kerusakan-kerusakan
ini pun lalu ditindak lanjuti oleh salah seorang pemerhati lingkungan, Stanislav
Lotha yang menulis surat tentang kerusakan-kerusakan lingkungan
yang terjadi akibat ulah WINA ini kepada The Forest
Trust (TFT).
Ya, selain
dari pemerhati lingkungan dan Pemkot, diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai
elemen masyarakat kota Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU) baik berprofesi
sebagai nelayan, orang adat dan sebagainnya.
Diskusi ini pun
diadakan secara berkelanjutan. Menariknya, dalam pertemuan kali ini yang seharusnya WINA membahas soal hasil survei dari TFT
mengenai Keanekaragaman Hayati yang ada di Teluk Balikpapan, juga Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan maupun tentang penilaian Hutan Bernilai Konservasi Tinggi atau High Conservation
Forest (HCVF) di Teluk Balikpapan.
Justru, membahas upaya WINA yang akan melakukan pembukaan atau
perluasan lahan baru
mereka disana. Perusahaan yang bergerak di industri kelapa sawit ini
malah membahas soal rencana lainnya yakni pembuatan jalan raya untuk akses WINA
menyuplai bahan pembuatan Biosolar ke PT. Pertamina Balikpapan.
Disebutkan WINA biasanya menyuplai melalui jalur laut dan menyebabkan kapal mereka sering melintasi Teluk Balikpapan. “Dan jika jalan raya ini disetujui,
itu akan membuat aktifitas kapal di area laut menjadi berkurang dan membuat
berkurangnya perusakan di area teluk,” kata salah seorang perwakilan dari WINA.
Meski begitu disisi lain, dampak yang dihasilkan
jika rencana tersebut terealisasi tentu akan membuat hutan yang ada di area pembuatan jalan ini bisa menjadi
pemukiman dan menimbulkan polemik baru.
Tak khayal, pembahasan
ini membuat para undangan menjadi merasa aneh dan bingung. Meski pembahasan ini
tetap berjalan sampai para undangan tahu bahwa lahan yang akan di buka oleh perusahaan ini
untuk pembuatan jalan.
Karena, berdasarkan fakta yang ada rencana pembangunan tersebut pun
belum memiliki ijin pembukaan lahan dari pemerintah sehingga
hal ini lah yang membuat para peserta
diskusi merasa tidak perlu membahasnya.
Hingga, akhirnya diskusi yang berjalan selama tak kurang 6 jam itu di tutup. Dengan kesimpulan bahwa perusahaan ini harus mengurus soal perijinannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembahasan dan masalah pengrusakan - pengrusakan serta ataupun dampak ekologi dari aktifitas mereka seperti penurunan pendapatan nelayan yang terjadi di Teluk Balikpapan.
Meski demikian, dari beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam diskusi
tersebut, pengrusakan maupun perbedaan persepsi yang sering kali terjadi antara
perusahaan dan masyarakat setempat, bukan lah semata-mata salah WINA. Namun
perusahaan-perusahaan lain yang ada di sekitar teluk yang harus juga bertanggung jawab
atas apa yang terjadi di sana. Begitupun peran pemerintah, yang sekiranya
lalai atas pengawasan-pengawasan terhadap daerah Teluk
Balikpapan seperti yang telah disampaikan oleh orang dari BLH itu sendiri.
Created :Sadliyansah "Cicak" (NIM :13.02.050)
Edited : Tirus (NTA.CC.05.11.043)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar