Selasa, 01 Oktober 2019

GAS AIR MATA PERTAMA


Sebenarnya, demonstrasi bukanlah gaya saya. Selama empat tahun berstatus sebagai mahasiswa, baru sekali saya ikut aksi yaitu aksi kamisan. Itupun hadir karena ditunjuk sebagai salah satu panitia. Kemudian untuk kedua kalinya, tanpa paksaan melainkan sebuah pernyataan sikap, dengan kesadaran penuh bahwa akan ada kemungkinan aksi ini ricuh saya berangkat menuju aksi kamisan kedua saya yang digabung dengan Aliansi Kaltim Bersatu 26 September 2018 di gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Terdapat 6 tuntutan pada aksi kemarin, yaitu

- Mendesak presiden mengeluarkan PERPU terkait UU KPK
- Tolak segala UU yang melemahkan demokrasi
- Tolak TNI dan POLRI menempati jabatan sipil
- Bebaskan aktivis pro demokrasi
- Hentikan militarism di tanah papua
- Tuntaskan pelanggaran HAM, adili penjahat HAM termasuk yang duduk dilingkaran kekuasaan.

Menolak negosiasi  dengan anggota DPRD kami siap didepan gerbang. Terik matahari kalah membara dibanding jiwa kami yang menggelora. Entah berapa liter air yang ditembakkan water cannon tapi tak juga mampu padamkan semangat kami yang menyala.

Hingga, aksi masa pecah oleh gas air mata. Untuk pertama kalinya, mungkin juga untuk beberapa orang lainnya, merasakan gas air mata. Baru saya tau, bahwa perihnya tak hanya dimata, melainkan juga dihidung serta sesak saat menghirup udara.

Seketika pula korban bergelatakan, yang masih mampu berdiri bahu-membahu untuk membantu yang sudah jatuh. Selain teriakan hidup mahasiswa dan aspirasi lainnya, sirine ambulan juga tak kalah gaungnya hilir mudik ditempat kami unjuk suara.

Gas air mata pertama yang saya rasakan. Dua kali kericuhan yang pada dasarnya tidak diharapkan nyatanya terjadi pada Aksi kemarin. Kericuhan pertama gas air mata jauh dari sudut pandang namun perihnya tetap tidak terhindarkan. kericuhan kedua kalinya, setidaknya ada 3 gas air mata berjarak kurang lebih satu meter dari saya dan satu gas air mata tepat disamping kaki kiri. Sungguh adrenalin saya menggebu, namun disisi lain begitu emosional melihat  sesama rekan mahasiswa-mahasiswi yang menjadi korban, seketika pingsan dijalanan. Dan itu justru lebih pedih daripada gas air mata sialan itu.

Perjuangan kami belum henti sampai disini, kami sedang memulihkan diri juga untuk aparat-aparat agar sejenak beristirahat. Besok kita jumpa lagi. Sama-sama berjuang untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang katanya harga mati terpampang pada spanduk-spanduk dijalan raya berikut dengan wajah-wajah pemerintah yang  nyatanya berkhianat dengan bangga.

Panjang umur perjuangan!



Febbyan Awalia//Ruzun 
NTA.CC.10.16.074

Balikpapan 28 September 2019. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar