Suara
mesin kelotok mendengung di telinga. Menyusuri Teluk Balikpapan yang mulai dikeliling
perusahaan industri. Sejurus dengan barisan bukit yang tidak lagi hijau.
Dari kejauhan tampak Kelurahan Jenebora. Sejauh mata
memandang, wilayah itu tampak begitu diam dengan segala keterbelakangannya.
Sampah-sampah tergenang di kolong rumah warga. Terapung mengikuti pola ombak. Seolah menggambarkan
ketidakpedulian warga dan pemerintah setempat terhadap daerah mereka.
Membutuhkan
waktu kurang lebih 30 menit dari Pelabuhan
Kampung Baru untuk tiba di sana.
Cuaca yang cerah dan kondisi ombak yang tenang, melancarkan perjalanan saya.
Terdapat
banyak penumpang di kelotok yang saya tumpangi. Mulai
dari ibu-ibu bercadar hingga anak kecil yang sedang dipangku sang ayah. Selain kelotok, speedboat menjadi opsi lain menuju kelurahan di pesisir Teluk Balikpapan tersebut.
Kelurahan
Jenebora masuk dalam Kecamatan
Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Terbagi menjadi
dua wilayah, Jenebora I dan Jenebora II, atau lebih dikenal
dengan Dong Hwa. Berbatasan dengan
Kelurahan Gresik di sisi barat, Kelurahan
Pantai Lango di sisi utara, serta Teluk Balikpapan di sebelah timur dan selatan.
Tiba di Pelabuhan Jenebora I, saya disambut
senyum masyarakat setempat. Dikelilingi hutan mangrove, kelurahan ini nampak tidak terlalu luas. Tidak
banyak kendaraan roda empat yang saya lihat. Berbanding
terbalik dengan motor cukup banyak berlalu lalang.
Sengatan matahari, seolah menghalangi
masyarakat untuk beraktifitas. Mereka lebih
memilih berada di dalam rumah. Banyak
teras rumah warga yang dialihfungsikan sebagai warung kecil. Sekedar berdagang es sebagai
penyegar dahaga.
Di
Jenebora I rumah-rumah berderet rapat. Beberapa
dibangun di atas
air. Terdapat kurang lebih 350 rumah warga yang mayoritas berprofesi sebagai
nelayan. Satu
rumah bisa dihuni satu sampai dua kepala
keluarga.
Mengitari Jenebora I, mulai dari pelabuhan hingga ujung kelurahan, bisa memakan waktu 2
sampai 3 jam.
Terdapat Sekolah Dasar, Puskesmas Pembantu (Pusban), beberapa masjid, serta gedung LPM yang tidak
terlalu besar sebagai fasilitas umum.
Saya
menapaki jembatan yang panjangnya kurang lebih 20 meter. Kemudian berlanjut
pada jalan yang berupa tanah berbatu serta berlubang. Jika hujan mengguyur, otomatis menjadi becek dan licin.
Meneruskan
perjalanan, saya berjalan kaki menuju salah satu rumah tokoh masyarakat setempat, Haji Muhammad Saad. Dia warga asli Jenebora. Memiliki satu istri dan tiga anak perempuan yang sudah
dewasa. Berkulit agak kecokelatan.
Setelah
menyampaikan maksud kedatangan saya di Jenebora, Pak Muhammad atau yang biasa
dipanggil Pak Aji
memberikan tawaran menginap di rumahnya
beberapa hari. Tawaran yang saya
terima dengan senang hati.
Saya sempat bercengkerama dengan istri Pak Aji yang mulai menampakkan
keriput dibeberapa bagian wajahnya. Beliau
menyampaikan bahwa Jenebora berasal dari dua kata. Yaitu
Jene yang dalam bahasa Bugis berarti air. Dan Bura, berasal dari bahasa Bajau yang berarti Busa. Sehingga
Jenebora dapat diartikan air yang
berbusa.
Jenebora
terbentuk sejak zaman
penjajahan Belanda. Di mana kelurahan itu menjadi tempat persembunyian
orang-orang pribumi. Pada
1959 wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan Kutai diberi
nama Balikpapandang. Kemudian berganti menjadi Jenebora.
Salah
satu kesenian tradisional di Jenebora adalah pencak silat yang diiringi dengan gendang dan
gamelan berukuran 15-25 cm. Biasanya dipentaskan saat
pesta pernikahan serta menggunakan bahasa
Bugis dan Bajau.
Namun budaya tersebut seolah
terhalang oleh kurangnya perhatian pemerintah
maupun penduduk sekitar. Sampah-sampah kerap kali saya
jumpai menumpuk di sekitar
rumah-rumah warga. Kurangnya fasilitas menjadi alasan warga membuang sampah ke laut ataupun dibiarkan
berserakan.
“lagian
Mba, gimana mau buang sampah
di tempatnya.
Tempat sampahnya aja kami ga
punya” ucap salah satu ibu rumah tangga seolah kesal dengan pemerintah .
Beberapa
hari di Jenebora I, saya banyak mendapat keluh kesah masyarakat mengenai
pemerintah yang hanya menebar janji kepada mereka. Saya ingat setelah gotong
royong, saya sedang duduk di salah satu teras warga sambil minum air es yang
disediakan. Bapak sang pemilik rumah ikut bergabung dengan saya. Awalnya kami bercengkerama mengenai dampak sampah.
Kemudian bapak tersebut mulai menyampaikan isi hatinya mengenai pemerintah yang
seolah tidak perduli dengan kelurahan mereka.
Dilain
waktu, saya dicegat oleh ibu-ibu. Dengan wajah kesal, dia menyampaikan bahwa pemerintah harus ambil
tindakan tegas terhadap peternak kambing.
Pasalnya, kambing yang dibiarkan oleh pemiliknya berkeliaran di kelurahan
tersebut, membuang kotorannya di sembarang
tempat. Termasuk di depan masjid.
Masih banyak lagi keluhan
masyarakat mengenai pemerintah
yang dinilai acuh. Ketidakpedulian inilah yang bisa menjadi bom penghancur. Saya
banyak mendengar rintihan masyarakat-masyarakat kecil yang tidak tau apa-apa.
Sisi lain Jenebora yang hening dan menyayat.
Terkadang
saya merenung, di saat
senja sudah berlalu dan debur ombak menjadi alunan penghantar tidur. Saya duduk
di dermaga, menatap lampu-lampu perusahaan di seberang sana. Jenebora yang malang. Seperti
gadis desa yang manis dan polos, berusaha terdengar di antara hiruk pikuk kota.
Sudahkan engkau dengar wahai pemerintah? Suara rintihan dari pesisir mu,
Jenebora.
Oleh : Byan "Ruzun"
mau foto-fotonya dong, penasaran dengan Janebora.
BalasHapusDitunggu ya, nanti fotonya dishare di album
BalasHapus