Rabu, 18 September 2013

Mengkhidmati Upacara Kemerdekaan di Puncak Jawa Barat

Banyaknya Peninggalan Bersejarah Menjadi Daya Tarik Tersendiri


Bermacam cara dilakukan dalam memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia.   Lebih khidmat rasanya, saat memilih melakukan upacara di tengah alam bebas ataupun di puncak tertinggi seperti di gunung,  khas Pencinta Alam.

Perayaan 17-an, kali ini saya memilih mendaki Gunung Ciremai yang berada di Desa Manislor, Kuningan Jawa Barat. Dengan banyaknya cerita masyarakat terkait keberadaan gunung ini, seperti  keberadaan tempat bersejarah saat Perundingan Linggarjati, Condang Amis, serta Batu Lingga  sebagai tempat beristirahatnya Wali Songo yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki.



Ya, dalam rangka peringatan Hut RI kali ini saya melakukan pendakian ke Gunung Ciremai.

Ciremai atau juga yang sering di sebut Cerme----bahasa masyarakat sekitar, memang bagaikan sesosok raksasa yang berdiri menjulang di tengah-tengah dataran rendah di kawasan Pantai Utara bagian Timur, Jabar.

Berbicara ketinggian, Gunung Ciremai menjulang hingga 3078 Meter Diatas Permukaan Laut (Mdpl) atau 2578 meter di atas kota Kuningan.

Dengan ketinggian itu, menjadikan gunung yang bernaungnya bunga abadi atau Edelweis itu yang tertinggi di Jawa Barat.

Sama seperti kebanyakan gunung di Indonesia, di kawasan Gunung Ciremai ini merupakan kawasan Hutan Lindung. Meski  sebagiannya telah rusak oleh letusan gunung dan kemudian oleh aktivitas masyarakat serta kebakaran hutan di masa lalu.

Saat saya memulai pendakian, atau tepatnya pada 16 Agustus lalu, sejakl pukul 14.00 WIB saya terlebih dahulu untuk melakukan pendaftaran di Pos jaga yang terletak di kaki gunung.
Diketahui, setidaknya kita harus melalui 10 Pos terlebih dahulu sebelum mencapai puncak sejati Gunung Ciremai.

Pendakian pun di mulai. Saya memilih untuk melakukan pendakian melalui jalur Linggarjati. Nama jalur yang di ambil karena letaknya tak jauh dari tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda, terkait persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia pada 15 November 1946 silam. Wah, pendakian ini semakin berbau nuansa kemerdekaan ya, hehe...

Meski begitu dengan memilih jalur Linggarjati, kita akan dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti tidak adanya sumber air yang mengharuskan para pendaki membawa persediaan air minimal 5 liter/orang dari titik start  pendakian bernama Camping Ground.

Hal itu membuat beban yang di bawa oleh pendaki menjadi lebih berat, apalagi melihat topografinya yang sebagian besar bergelombang dan curam.

Namun di satu sisi, dari pos pendaftaran jalur ini kita diuntungkan dengan masih landainya jalur daki hingga pos Condang Amis.

Setelah melewati Condang Amis track yang di lalui mulai terjal hingga sampai di pos Kuburan Kuda. Pos yang menurut kepercayaan warga setempat terdapat kuburan kuda milik tentara Jepang.
Sehingga, sampai saat ini masih di keramatkan oleh warga yang membuat pos ini jarang di gunakan sebagai camp oleh para pendaki terkait nuansa mistik yang begitu kental.

Berlanjut, dari pos Kuburan Kuda, track serta vegetasi yang saya lalui masih sama seperti sebelumnya hingga sampai di pos Pangalap.

Kelebihan, di pos Pangalap ini ialah mempunyai lahan yang cukup luas untuk mendirikan camp sehingga banyak pendaki yang memilih camp di pos ini.

Setelah melewati pos Pangalap saya sampai di pos Bapa Tere atau bisa di artikan Bapak Tiri, menurut cerita pos ini di namakan Bapa Tere karena pernah ada kejadian seorang ayah yang tega membunuh anaknya di daerah ini.

Track semakin terjal udara pun semakin dingin, kali ini batuan lepas dan tebing yang harus di lalui hingga akhirnya saya tiba di pos Tanjakan Seruni.

Perjalanan di lanjutkan hingga pukul 02.43 waktu setempat, saya tiba di pos Batu Lingga, konon di pos ini terdapat sebuah batu besar yang pernah menjadi tempat istirahat Wali Songo ketika mendaki gunung ini. Namun dengan gejala iklim yang terjadi di sekitar gunung, membuat batu tersebut sudah tidak terlihat lagi dan akan terlihat pada waktu tertentu saja.
Di pos ini saya putuskan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan esok pagi.

Setelah sarapan atau tepatnya pada (17/8) pagi, perjalanan di lanjutkan pada track yang lebih berat tentunya.

Dari pos Batu Lingga melewati pos Sangga Buana dan tiba di pos Sangga Buana 2, di sini ada keunikan tersendiri di mana terdapat pohon-pohon yang pucuknya melengkung ke bawah.

Saya beristirahat, moment yang begitu rileks saya dapatkan. Sambil menikmati kopi yang ala kadarnya dan di iringi kicauan burung. Rasa lelah yang begitu sering menghinggap seakan terusir dengan asrinya keindahan alam sekitar.

Berlanjut, dari pos Sangga Buana 2 vegetasi mulai berubah, terasa sangat panas karena tidak adanya pohon-pohon yang tinggi, track pun licin dengan debu yang begitu tebal hingga sampai di pos Pangasinan.

Pos Pangasinan ini adalah pos terakhir sebelum mencapai puncak, di namakan demikian karena disini terasa sangat panas sehingga keringat yang keluar pun lebih banyak.
Biasanya keringat yang keluar dari wajah masuk kemulut dan begitu terasa sedikit asin. Namun, sekali lagi panorama yang indah di suguhkan, dimana terlihat kota Cirebon, Kuningan dan sekitarnya dari pos ini.

Selain pemandangan kota di sini juga terdapat Bunga Edelwies atau Bunga yang terkenal akan keabadiannya tersebut.

Upacara Di Puncak Tertinggi

Debu yang tebal membuat nafas sedikit sesak, di tambah terik matahari yang terasa langsung membakar kulit.

Tidak mudah untuk mendapatkan puncak, track yang dilalui pun terbilang sulit. Ya, sesuai rencana, saya tiba di puncak tertinggi Gunung Ceramai pada 17 Agustus 2013, pukul 14.00 WIB. Waktu yang ideal untuk mengadakan persiapan upacara kemerdekaan khas Cinta Alam hingga sang surya berada tepat di ubun-ubun.

Tiba waktu upacara, saya bersama 10 orang pendaki lainnya begitu khidmat menjalani prosesi upacara 17 Agustus di puncak tertinggi Jawa Barat tersebut.
Rasa lelah seakan hilang melihat pemandangan yang tersaji di Puncak Jawa Barat ini, awan terlihat jelas berada di bawah dan di sini terdapat kawah yang masih aktif.

Satu jam waktu yang saya habiskan di puncak Ceremai, bersama 11 rekan sesama pendaki. Ketika pukul 15.00 WIB, saya memutuskan untuk menyudahi keindahan puncak.

Saat saya turun dari puncak saya melalui jalur yang sama ketika memulai pendakian.
Dalam perjalanan pulang ini, tak semua keindahan itu ada. Karena di satu sisi, saya kerap menemui kerusakan oleh tangan-tangan jahil yang dengan sengaja mengotori keindahannya.

Banyak batuan besar yang ada di sini terlihat kotor dengan coretan tanpa makna, bunga Edelweis nan indah pun terlihat kurang elok karena banyak di petik oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.  “Anugrah-Mu sungguh luar biasa, semoga keindahan ini tetap terjaga,” satu pesan yang ada di benak saya setelah melalui pendakian yang panjang itu.


Oleh : Kebo (NTA.CC.06.12.046)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar