Banyaknya Peninggalan Bersejarah Menjadi Daya Tarik Tersendiri
Bermacam cara dilakukan dalam memperingati hari kemerdekaan
Republik Indonesia. Lebih khidmat
rasanya, saat memilih melakukan upacara di tengah alam bebas ataupun di puncak
tertinggi seperti di gunung, khas
Pencinta Alam.
Perayaan 17-an, kali ini saya memilih mendaki Gunung Ciremai yang
berada di Desa Manislor, Kuningan Jawa Barat. Dengan banyaknya cerita
masyarakat terkait keberadaan gunung ini, seperti keberadaan tempat bersejarah saat Perundingan
Linggarjati, Condang Amis, serta Batu Lingga sebagai tempat beristirahatnya Wali Songo yang menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pendaki.
Ya,
dalam rangka peringatan Hut RI kali ini saya melakukan pendakian ke Gunung
Ciremai.
Ciremai
atau juga yang sering di sebut Cerme----bahasa masyarakat sekitar, memang
bagaikan sesosok raksasa yang berdiri menjulang di tengah-tengah dataran rendah
di kawasan Pantai Utara bagian Timur, Jabar.
Berbicara
ketinggian, Gunung Ciremai menjulang hingga 3078 Meter Diatas Permukaan Laut
(Mdpl) atau 2578 meter di atas kota Kuningan.
Dengan
ketinggian itu, menjadikan gunung yang bernaungnya bunga abadi atau Edelweis itu
yang tertinggi di Jawa Barat.
Sama
seperti kebanyakan gunung di Indonesia, di kawasan Gunung Ciremai ini merupakan
kawasan Hutan Lindung. Meski sebagiannya
telah rusak oleh letusan gunung dan kemudian oleh aktivitas masyarakat serta
kebakaran hutan di masa lalu.
Saat
saya memulai pendakian, atau tepatnya pada 16 Agustus lalu, sejakl pukul 14.00
WIB saya terlebih dahulu untuk melakukan pendaftaran di Pos jaga yang terletak
di kaki gunung.
Diketahui,
setidaknya kita harus melalui 10 Pos terlebih dahulu sebelum mencapai puncak
sejati Gunung Ciremai.
Pendakian
pun di mulai. Saya memilih untuk melakukan pendakian melalui jalur Linggarjati.
Nama jalur yang di ambil karena letaknya tak jauh dari tempat perundingan
antara Indonesia dan Belanda, terkait persetujuan mengenai status kemerdekaan
Indonesia pada 15 November 1946 silam. Wah, pendakian ini semakin berbau nuansa
kemerdekaan ya, hehe...
Meski
begitu dengan memilih jalur Linggarjati, kita akan dihadapkan dengan berbagai
tantangan seperti tidak adanya sumber air yang mengharuskan para pendaki
membawa persediaan air minimal 5 liter/orang dari titik start pendakian bernama Camping Ground.
Hal
itu membuat beban yang di bawa oleh pendaki menjadi lebih berat, apalagi
melihat topografinya yang sebagian besar bergelombang dan curam.
Namun
di satu sisi, dari pos pendaftaran jalur ini kita diuntungkan dengan masih
landainya jalur daki hingga pos Condang
Amis.
Setelah
melewati Condang Amis track yang di
lalui mulai terjal hingga sampai di pos Kuburan
Kuda. Pos yang menurut kepercayaan warga setempat terdapat kuburan kuda
milik tentara Jepang.
Sehingga,
sampai saat ini masih di keramatkan oleh warga yang membuat pos ini jarang di
gunakan sebagai camp oleh para pendaki terkait nuansa mistik yang begitu kental.
Berlanjut,
dari pos Kuburan Kuda, track serta
vegetasi yang saya lalui masih sama seperti sebelumnya hingga sampai di pos Pangalap.
Kelebihan,
di pos Pangalap ini ialah mempunyai
lahan yang cukup luas untuk mendirikan camp sehingga banyak pendaki yang
memilih camp di pos ini.
Setelah
melewati pos Pangalap saya sampai di
pos Bapa Tere atau bisa di artikan
Bapak Tiri, menurut cerita pos ini di namakan Bapa Tere karena pernah ada kejadian seorang ayah yang tega
membunuh anaknya di daerah ini.
Track semakin
terjal udara pun semakin dingin, kali ini batuan lepas dan tebing yang harus di
lalui hingga akhirnya saya tiba di pos Tanjakan
Seruni.
Perjalanan
di lanjutkan hingga pukul 02.43 waktu setempat, saya tiba di pos Batu Lingga, konon di pos ini terdapat
sebuah batu besar yang pernah menjadi tempat istirahat Wali Songo ketika
mendaki gunung ini. Namun dengan gejala iklim yang terjadi di sekitar gunung,
membuat batu tersebut sudah tidak terlihat lagi dan akan terlihat pada waktu
tertentu saja.
Di
pos ini saya putuskan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan esok pagi.
Setelah
sarapan atau tepatnya pada (17/8) pagi, perjalanan di lanjutkan pada track yang
lebih berat tentunya.
Dari
pos Batu Lingga melewati pos Sangga Buana dan tiba di pos Sangga Buana 2, di sini ada keunikan
tersendiri di mana terdapat pohon-pohon yang pucuknya melengkung ke bawah.
Saya
beristirahat, moment yang begitu rileks saya dapatkan. Sambil menikmati kopi
yang ala kadarnya dan di iringi kicauan burung. Rasa lelah yang begitu sering
menghinggap seakan terusir dengan asrinya keindahan alam sekitar.
Berlanjut,
dari pos Sangga Buana 2 vegetasi
mulai berubah, terasa sangat panas karena tidak adanya pohon-pohon yang tinggi,
track pun licin dengan debu yang begitu tebal hingga sampai di pos Pangasinan.
Pos
Pangasinan ini adalah pos terakhir
sebelum mencapai puncak, di namakan demikian karena disini terasa sangat panas
sehingga keringat yang keluar pun lebih banyak.
Biasanya
keringat yang keluar dari wajah masuk kemulut dan begitu terasa sedikit asin. Namun,
sekali lagi panorama yang indah di suguhkan, dimana terlihat kota Cirebon,
Kuningan dan sekitarnya dari pos ini.
Selain
pemandangan kota di sini juga terdapat Bunga Edelwies atau Bunga yang terkenal akan
keabadiannya tersebut.
Upacara Di
Puncak Tertinggi
Debu yang tebal membuat nafas sedikit sesak, di tambah terik
matahari yang terasa langsung membakar kulit.
Tidak mudah untuk mendapatkan puncak, track yang dilalui pun terbilang sulit. Ya, sesuai rencana, saya
tiba di puncak tertinggi Gunung Ceramai pada 17 Agustus 2013, pukul 14.00 WIB.
Waktu yang ideal untuk mengadakan persiapan upacara kemerdekaan khas Cinta Alam
hingga sang surya berada tepat di ubun-ubun.
Tiba waktu upacara, saya bersama 10 orang pendaki lainnya begitu
khidmat menjalani prosesi upacara 17 Agustus di puncak tertinggi Jawa Barat
tersebut.
Rasa lelah seakan hilang melihat pemandangan yang tersaji di
Puncak Jawa Barat ini, awan terlihat jelas berada di bawah dan di sini terdapat
kawah yang masih aktif.
Satu jam waktu yang saya habiskan di puncak Ceremai, bersama 11
rekan sesama pendaki. Ketika pukul 15.00 WIB, saya memutuskan untuk menyudahi
keindahan puncak.
Saat saya turun dari puncak saya melalui jalur yang sama
ketika memulai pendakian.
Dalam perjalanan pulang ini, tak semua keindahan itu ada. Karena
di satu sisi, saya kerap menemui kerusakan oleh tangan-tangan jahil yang dengan
sengaja mengotori keindahannya.
Banyak batuan besar yang ada di sini terlihat kotor dengan coretan
tanpa makna, bunga Edelweis nan indah pun terlihat kurang elok karena banyak di
petik oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. “Anugrah-Mu sungguh luar biasa, semoga
keindahan ini tetap terjaga,” satu pesan yang ada di benak saya setelah melalui
pendakian yang panjang itu.
Oleh : Kebo (NTA.CC.06.12.046)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar