Kamis, 28 Maret 2019

Antara Kita, Bara dan Lara


Belakangan ini, ada banyak bencana yang datang menghampiri Indonesia. Dari hal-hal yang tidak bisa kita duga seperti tsunami dan gempa. Serta hal-hal yang seharusnya dapat kita cegah seperti banjir dan longsor. 
Banjir tak bosan mengisi tajuk berita,  mereka yang menjadi korban meninggalkan lara untuk keluarga. Ditambah pula pengerukan batu bara  yang semakin banyak meninggalkan kolam dan menjadi biang petaka.

Dan di antara perihal tersebut, kita masih sama-sama sibuk berdebat memilih satu atau dua. Untungnya tak sedikit yang menolak lupa, terhadap alam yang diperkosa atas kepentingan bersama, katanya.
Lahan-lahan konservasi kian dibuka, tambang kian meraja lela. Tambang batu bara, mineral, semen, dan lain-lain seperti tidak ada habisnya. Kita banyak mengeruk tanah dan lupa bahwa bumi memiliki batasnya. Bersamaan dengan hal tersebut, pembangunan terus dikebut. Yang seringkali menjadi musuh akan pelestarian alam dan menjadi hal yang tidak dapat kita tolak. Bahwa mengejar zaman juga berarti mengorbakan hal-hal tertentu, dan seringnya alam menjadi tumbalnya.
Kesadaran akan bumi yang collapse tidak cukup untuk menghentikan bencana yang ditimbulkan atas perubahan rupa bumi. Kita perlu bergerak meminimalisasi dampak dari segala aktifitas dipermukaan. Saat ini, aksi-aksi terus dilancarkan meskipun kerap kali bertabrakan dengan para pemegang kuasa. Bahwasanya di atas kepentingan rakyat, kantong-kantong mereka mesti tercukupi.
Kondisi nyata saat ini tidak bisa kita abaikan, apalagi sampai lalai. Lawan! Dengan cara apapun yang kamu mampu. Turun ke jalan, silahkan. Membuat penelitian, silahkan. Kalau masih sulit, utarakan lewat tulisan. Apapun itu, kita tetap harus melawan.

Kita, (batu) bara, dan lara merupakan manusia, alam, dan luka. Kita bergerak perlahan melumpuhkan bumi. Tidak sadar bahwa kita sedang membunuh diri kita sendiri. 


Febbyan Awalia (Ruzun)
NTA.CC.10.16.074

Tidak ada komentar:

Posting Komentar