Belakangan ini, ada banyak bencana
yang datang menghampiri Indonesia. Dari hal-hal yang tidak bisa kita duga
seperti tsunami dan gempa. Serta hal-hal yang seharusnya dapat kita cegah
seperti banjir dan longsor.
Banjir tak bosan mengisi tajuk
berita, mereka yang menjadi korban meninggalkan
lara untuk keluarga. Ditambah pula pengerukan batu bara yang
semakin banyak meninggalkan kolam dan menjadi biang petaka.
Dan di antara perihal tersebut, kita
masih sama-sama sibuk berdebat memilih satu atau dua. Untungnya tak sedikit
yang menolak lupa, terhadap alam yang diperkosa atas kepentingan bersama,
katanya.
Lahan-lahan konservasi kian dibuka,
tambang kian meraja lela. Tambang batu bara, mineral, semen, dan lain-lain
seperti tidak ada habisnya. Kita banyak mengeruk tanah dan lupa bahwa bumi
memiliki batasnya. Bersamaan dengan hal tersebut, pembangunan terus dikebut. Yang
seringkali menjadi musuh akan pelestarian alam dan menjadi hal yang tidak dapat
kita tolak. Bahwa mengejar zaman juga berarti mengorbakan hal-hal tertentu, dan
seringnya alam menjadi tumbalnya.
Kesadaran akan bumi yang collapse
tidak cukup untuk menghentikan bencana yang ditimbulkan atas perubahan rupa
bumi. Kita perlu bergerak meminimalisasi dampak dari segala aktifitas dipermukaan.
Saat ini, aksi-aksi terus dilancarkan meskipun kerap kali bertabrakan dengan
para pemegang kuasa. Bahwasanya di atas kepentingan rakyat, kantong-kantong mereka
mesti tercukupi.
Kondisi nyata saat ini tidak bisa
kita abaikan, apalagi sampai lalai. Lawan! Dengan cara apapun yang kamu mampu.
Turun ke jalan, silahkan. Membuat penelitian, silahkan. Kalau masih sulit,
utarakan lewat tulisan. Apapun itu, kita tetap harus melawan.
Kita, (batu) bara, dan lara
merupakan manusia, alam, dan luka. Kita bergerak perlahan melumpuhkan bumi. Tidak
sadar bahwa kita sedang membunuh diri kita sendiri.
Febbyan Awalia (Ruzun)
NTA.CC.10.16.074
Tidak ada komentar:
Posting Komentar