Jumat, 12 September 2014

Tumpang Tindih Pembangunan, Rugikan Masyarakat dan Lingkungan


Sejatinya, tak hanya kerusakan lingkungan saja yang ditimbulkan akibat aktifitas maupun ketidakselarasan pembukaan lahan oleh aktifitas industri di beberapa kawasan yang punya nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Pada kegiatan “Community Feedback” oleh PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) Rabu (10/9) di Hotel Sejati, Balikpapan banyak nelayan sekitar Teluk Balikpapan mengeluhkan dakmpak sosial dan ekonomi yang terjadi kepada mereka.


Pada acara yang juga dihadari oleh para pemerhati lingkungan,  perwakilan Pemerintah Kota (Pemkot) yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan dengan The Forest Trust (TFT) sebuah lembaga konsultasi lingkungan sebagai fasilitator.

Diketahui, Teluk Balikpapan merupakan sebuah teluk kecil yang terletak di Timur Kalimantan Indonesia yang menyimpan keanekaragaman hayati  yang merupakan ekosistem bagi hewan serta tumbuhan khas yang mulai langka seperti Pesut, Dugong ataupun Bekantan.

Selain beberapa flora endemic Kalimantan tersebut, di Teluk yang berdampingan dengan Kawasan Industri Kariangau (KIK) itu, juga banyak terdapat populasi hutan Mangrove.

Namun kini, sebagian habitat mereka mulai terusik oleh aktifitas perusahaan – perusahaan yang terdapat di daerah teluk itu sendiri. Salah satunya, tergambar dalam diskusi tadi,  yaitu ada pada perusahaan yang bergerak di bidang Crude Palm Oil (CPO) atau industri minyak nabati ini.

Dari pertemuan antara WINA dengan pihak terkait guna mengetahui tanggapan masyarakat terkait aktifitas mereka di kawasan Teluk Balikpapan kemarin, perusahaan ini diduga merupakan salah satu penyumbang kerusakan bagi habitat-habitat yang ada di Teluk Balikpapan belakangan waktu. Hasilnya, banyak peserta yang mengeluhkan kondisi Teluk Balikpapan saat ini.

Contohnya, seperti kerusakan kawasan mangrove yang berujung dari penutupan aliran air sungai Berenga yang diduga oleh perusahaan ini yang sempat menjadi pembahasan hangat belakangan waktu.
Hal itu bukan hanya merugikan bagi lingkungan, tapi juga kerugian bagi para nelayan-nelayan sekitar, sebab perusahaan ini membuat lahan-lahan para pencari nafkah ini berkurang. Dikarenakan, peraturan-peraturan perusahaan yang melarang nelayan memasuki area perairan perusahaan yang merupakan lahan para nelayan mencari ikan sebelumnya.

“Dulu sekitar tahun 80-an sekali jalan bisa mendapat 20 sampai 30 ton, namun sekarang hanya bisa mendapat 3-5 ton saja, itupun kalau dapat,” kata Ali Baba salah satu Nelayan sekitar Teluk Balikpapan yang hadir dalam diskusi kemarin.

Kerusakan-kerusakan ini pun lalu ditindak lanjuti oleh salah seorang pemerhati lingkungan, Stanislav Lotha yang menulis surat tentang kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah WINA ini kepada The Forest Trust (TFT).

Ya, selain dari pemerhati lingkungan dan Pemkot, diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat kota Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU) baik berprofesi sebagai nelayan, orang adat dan sebagainnya.

Diskusi ini pun diadakan secara berkelanjutan. Menariknya, dalam pertemuan kali ini yang seharusnya WINA membahas soal hasil survei dari TFT mengenai Keanekaragaman Hayati yang ada di Teluk Balikpapan, juga Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan maupun tentang penilaian Hutan Bernilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Forest (HCVF) di Teluk Balikpapan.

Justru, membahas upaya WINA yang akan melakukan pembukaan atau perluasan lahan baru mereka disana. Perusahaan yang bergerak di industri kelapa sawit ini malah membahas soal rencana lainnya yakni pembuatan jalan raya untuk akses WINA menyuplai bahan pembuatan Biosolar ke PT. Pertamina Balikpapan.

Disebutkan WINA biasanya menyuplai melalui jalur laut dan menyebabkan kapal mereka sering melintasi Teluk Balikpapan. “Dan jika jalan raya ini disetujui, itu akan membuat aktifitas kapal di area laut menjadi berkurang dan membuat berkurangnya perusakan di area teluk,” kata salah seorang perwakilan dari WINA.

Meski begitu disisi lain, dampak yang dihasilkan jika rencana tersebut terealisasi tentu akan membuat hutan yang ada di area pembuatan jalan ini bisa menjadi pemukiman dan menimbulkan polemik baru.

Tak khayal, pembahasan ini membuat para undangan menjadi merasa aneh dan bingung. Meski pembahasan ini tetap berjalan sampai para undangan tahu bahwa lahan yang akan di buka oleh perusahaan ini untuk pembuatan jalan.  

Karena, berdasarkan fakta yang ada rencana pembangunan tersebut pun belum memiliki ijin pembukaan lahan dari pemerintah sehingga hal ini lah yang membuat para peserta diskusi merasa tidak perlu membahasnya.


Hingga, akhirnya diskusi yang berjalan selama tak kurang 6 jam itu di tutup. Dengan kesimpulan bahwa perusahaan ini harus mengurus soal perijinannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembahasan dan masalah pengrusakan - pengrusakan serta ataupun dampak ekologi dari aktifitas mereka seperti penurunan pendapatan nelayan yang terjadi di Teluk Balikpapan.

Meski demikian, dari beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam diskusi tersebut, pengrusakan maupun perbedaan persepsi yang sering kali terjadi antara perusahaan dan masyarakat setempat, bukan lah semata-mata salah WINA. Namun perusahaan-perusahaan lain yang ada di sekitar teluk yang harus juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sana. Begitupun peran pemerintah, yang sekiranya lalai atas pengawasan-pengawasan terhadap daerah Teluk Balikpapan seperti yang telah disampaikan oleh orang dari BLH itu sendiri.

Created :Sadliyansah "Cicak" (NIM :13.02.050)
Edited  : Tirus (NTA.CC.05.11.043)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar